Suwardi M. S.
Quick Facts
Biography
Suwardi Mohammad Samin (atau lebih dikenal dengan nama Suwardi M.S.; lahir di Koto Sentajo, Kuantan Tengah, Kuantan Singingi, Riau, 23 Juli 1939) merupakan seorang Penulis Buku, Pendidik, Tokoh Tarbiyah, Sejarawan, Budayawan Melayu Riau dan penggiat pers di Riau. Suwardi mendedikasikan hampir seluruh hidupnya memperkenalkan dan melestarikan budaya di tanah kelahirannya itu. Mengingat pengetahuan dan pemahamannya yang luas, Beliau kerap dijadikan bahan referensi dan juga dilibatkan dalam menyelesaikan problem terkait sejarah dan budaya Melayu Riau.
Riwayat Hidup
Sejak kecil Suwardi memang sudah menyukai hal-hal yang berbau kebudayaan. Ia dan teman-temannya gemar menyaksikan hikayat, zikir, dan pertunjukan musik tradisional Rarak, yang merupakan hiburan asli masyarakat Kuantan Sengingi. Kesenian musik ini merupakan ansambel alat musik yang terdiri oguang (gong), gendang, barabano (rebana) dan celempong yang dimainkan secara bersama-sama. Hal demikian kemudian membentuk pandangan Suwardi mengenai kebudayaan di sekitarnya.
Suwardi merupakan anak dari dari pasangan Mohammad Samin Chatib dan Siti Ramalah. Kedua orang tuanya sama-sama berasal dari Desa Pulau Komang, Sentajo. Dulu semasa kecil, sang ayah pernah mengajarkan filosofi hidup yang tak pernah ia lupakan. Satu anak lahir, dia gali lubang, kemudian lubang itu ditanam benih pohon kelapa. Maknanya, anak-anaknya harus menjadi orang yang berguna dan berhasil dalam kehidupannya. Hal ini penting, karena orang tua Suwardi bukanlah dari kalangan orang berada. Ayahnya hanyalah seorang guru mengaji dan berprofesi sebagai petani. Meski tidak berkecukupan, orang tua mengirim Suwardi kecil untuk menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR).
Pada tanggal 08 Agustus 1960 Suwardi menikahi Ruda Ani, yang menjadi istrinya sampai saat ini. Pernikanan Suwardi-Ruda dinyatakan "belum sepenuhnya selesai" menurut orang Riau, soalnya belum ada kendurinya. Bukan apa-apa, pada tahun yang sama Suwardi harus berangkat ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya di Unpad (Universistas Padjadjaran Bandung). Sedangkan istrinya tetap tinggal di Teluk Kuantan mengingat profesinya sebagai guru di sana. Di sela-sela perkuliahannya itu, pada bulan Agustus 1961 Suwardi pulang kampung untuk melaksanakan kendurian pernikahannya yang tertunda. Sejak saat itulah Suwardi dan istrinya secara resmi tinggal satu rumah di desa Benai Kecil. Pasangan ini kelak dikaruniai empat orang anak perempuan dan seorang laki-laki.
Pendidikan
Pada tahun 1954 Suwardi kecil bersekolah di SR, atau setingkat Sekolah Dasar pada era sekarang. Suwardi adalah anak yang tergolong pintar. Buktinya, SR yang harusnya dijalaninya selama 6 tahun, ternyata mampu diselesaikan hanya dalam tempo 5 tahun. Setamatnya dari SR, Suwardi langsung melanjutkan pendidikannya ke SGB Negeri Teluk Kuantan.
Untuk diketahui, SGB kepanjangan dari Sekolah Guru B. Sekolah model ini didirikan untuk menanggulangi kekurangan guru pada tingkat pendidikan rendah (dasar) di masa-masa awal Kemerdekaan Indonesia. Masa belajar SGB adalah selama empat tahun. Lagi-lagi Suwardi menunjukkan prestasi yang baik. Dia mampu menyelesaikan SGB dengan cepat, hanya dalam tempo tiga tahun saja.
Pada tahun 1960 Suwardi kemudian diterima dan bersekolah di sebuah SGA milik pemerintah di Tanjung Pinang. Sebagai pelajar berstatus ikatan dinas, dia mendapatkan honor sebesar $ 105.- per bulan. Tidak ada kendala yang berarti, Suwardi pun dinyatakan lulus pada Bulan Juni 1960. Kala itu dia berusia 21 tahun. Setelah menikah, Suwardi langsung berangkat ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Padjajaran Bandung (FKIP Unpad). Di FKIP Unpad Suwardi mendapatkan gelar Sarjana Muda (BA) pada tanggal 20 September 1963.
Pada bulan Oktober 1964 Suwardi melanjutkan kuliahnya untuk mendapatkan gelar sarjana penuh di IKIP Bandung dan lulus pada tahun 1966. Setelah mendapatkan sarjana penuh, pada tahun 1975 (selama setahun) Suwardi berkesempatan melanjutkan studinya ke Australia di Macquarie University, Sydney. Bidang studi yang diambil adalah Educational Planning. Lalu beberapa tahun berikutnya (1980-1985) Suwardi meraih gelar Master Trainer Moral Education Progam UNDP II dan Dirjen Dikti Depdikbud. Tiga tahun berselang, tepatnya pada tanggal 18 Juni 1988, Suwardi dinobatkan sebagai Guru Besar. Yang menjadi spesial buatnya adalah Surat Keputusannya kala itu ditandatangani langsung oleh Presiden Indonesia ke-2, Soeharto.
Sumbangan Pemikiran
Pada tahun 1970 Suwardi mulai melakukan berbagai penelitian Sejarah dan Budaya Melayu. Suwardi memang bercita-cita mengungkapkan Sejarah Riau. Cita-citanya itu muncul atas pendapat berbagai tokoh Masyarakat Riau yang mendengar bahwa pada masa Pemerintahan Orde Lama dikatakan bahwa Riau tidak pernah berjuang. Suwardi pun melakukan penelitian ke objek-objek peninggalan sejarah di sekitar Pekanbaru. Beberapa yang ditelitinya adalah Kerajaan Siak Sri Indrapura, Muara Takus dan sebagainya.
Hasil penelitian yang dilakukan bersama-sama dengan dua orang rekannya (Drs. Nur Muhammad dan Drs. Said Mahmud) lalu diajukan kepada Universitas Riau (UNRI). Oleh pihak universitas disepakati untuk dibahas dalam suatu panel diskusi pada tahun 1970. Hasil penelitian tersebut disusun drafnya sebagai Sejarah Riau (Summary of Riau History). Pada tahun 1971 Suwardi dkk memaparkan penelitian tersebut dalam Konferensi Asosiasi Sejarawan Asia (International Asian Historian Association, disingkat IAHA) di Yogyakarta. Beberapa tahun kemudian, penelitian dicetak dalam empat buku yang diterbitkan pertama kali oleh Pemerintah Provinsi Riau pada tahun 1977.
Suwardi memang getol menuangkan pemikirannya terkait kebudayaan Melayu Riau lewat tulisan-tulisannya. Beberapa bukunya adalah "Budaya Melayu Dalam Perjalanannya Menuju Masa Depan (1991)", "Pengobatan Melayu (1992)", "Dari Melayu Ke Indonesia dan Peranan Kebudayaan Melayu dalam Memperkokoh Identitas dan Jati Diri Bangsa (2008)". Bukunya yang terkini terbit pada tahun 2018 berjudul "Memperkasakan Budaya Melayu: Kearifan Lokal, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi dalam Kajian Sejarah Riau dan Indonesia". Buku ini terbit dikala beliau berusia 79 tahun. Tema buku itu sudah ia bawakan dalam orasinya pada tahun 2013. Saat itu Beliau dianugrahi penghargaan oleh Yayasan Sagang Riau untuk kategori Seniman dan Budayawan. Topik orasinya adalah “Memperkasakan Kebudayaan Melayu Sebagai Ilmu Pengetahuan Baharu”.
Belum ada kata lelah atau pensiun buat Suwardi demi kemajuan Budaya Melayu Riau. Saat ini ia masih tercatat sebagai Dosen Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNRI dan masih menjadi Rektor Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Riau.