Soedirman Mertoadikoesoemo
Quick Facts
Biography
Kolonel (Pol.) HR. Soedirman Mertoadikoesoemo (EYD: Sudirman Mertoadikusumo; lahir di Bangkalan, Jawa Timur, 3 Juli 1932; umur 88 tahun) adalah Bupati Jombang yang menjabat pada periode 1973-1978 dan Bupati Probolinggo periode 1978-1983. Pada masa kepemimpinannya ia dikenal sebagai pemicu kejayaan PSID, klub sepak bola Kabupaten Jombang.
Kehidupan awal
Soedirman dilahirkan di Bangkalan, Madura pada tanggal 3 Juli 1932. Sehingga kerasnya kehidupan nelayan secara tidak langsung menempa jiwa raga Bupati R. Soedirman. Bibit-bibit kepemimpinannya mulai terlihat sejak duduk di bangku SMP di Pamekasan sekitar tahun 1945. Sekolah yang terletak di Jalan Adipati Azis (sekarang jalan Pujangga), Pamekasan, Madura ini dulunya dikenal sebagai sekolah MULO. Karena Sudirman remaja sudah dibiasakan kost oleh orang tuanya, maka kemandirian telah melekat sejak di bangku SMP. Selepas SMP R. Soedirman melanjutkan ke jenjang SMA di Pamekasan, namun tidak lama, selanjutnya Madiun menjadi tempatnya menuntut ilmu. Dipilihnya Kota Madiun dengan pertimbangan biaya kost yang masih murah.
Perlawanan terhadap pembentukan Negara Madura
Ada peristiwa menarik sekaligus tak terlupakan ketika menjelang akhir semasa ia di SMP. Pada waktu itu Belanda, melalui Van Mook, seorang ahli strategi untuk melanggengkan kekuasaan mereka di tanah air, sengaja memecah-belah Indonesia dengan membentuk RIS (Republik Indonesia Serikat). Bukan negara kesatuan yang dicita-citakan para pendiri negara. Akibat politik yang dijalankan Van Mook itulah Indonesia terancam mengalami desintegrasi, karena dibentuk negara-negara keci lseperti negara Madura, negara Pasundan, negara Jawa Timur dan lain-lain. Saat itulah R. Soedirman yang masih berusia 15 tahun bangkit melawan kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda dengan melakukan demonstrasi menentang pembentukan negara Madura.
Alhasil tuntutan yang dilakukan kaum terpelajar, meskipun masih remaja, berhasil mengembalikan status Madura sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI. Mengenai peristiwa ini, R. Soedirman teruji sebagai pemimpin masa depan. Apalagi dalam rapat-rapat rahasia yang dilakukan sebelum meletus demonstrasi besar-besaran menolak pembentukan negara Madura, telah terjadi kesepakatan di antara peserta rapat. Jika di negara maju seperti Amerika Serikat, maka pemimpin aksi adalah kaum terpelajar dari kalangan mahasiswa. Tetapi di Madura karena status pendidikan tertinggi melekat pada R. Soedirman, maka seluruh aktivis sepakat menunjuknya sebagai pemimpin di usia yang masih belia.
Karier
Menjadi polisi
Setelah merampungkan bangku Taman Madya atau SMA, ia mengikuti Kursus Komandan Polisi di Sukabumi. Lagi-lagi pertimbangan sekolah murah menjadi pilihan. Di sinilah prestasi demi prestasi R. Soedirman mulai menonjol. Hal tersebut dibuktikan bahwa dirinya tercatat sebagai lulusan terbaik pendidikan yang dikenal luas masyarakat sebagai Sekolah Brigadir. Atas prestasi sebagai siswa terbaik, akhirnya R. Soedirman mendapat prioritas menentukan daerah mana untuk mendarmabaktikan tugasnya. Akhirnya Jawa Timur menjadi pilihan, kecuali Madura, mengingat ia merasa sebagai putera Jawa Timur. Tidak dipilihnya Madura, meskipun ia dilahirkan di Bangkalan, karena ia sangat teguh menjaga amanat. Dengan tidak bertugas di Madura, maka diharapkan potensi kedekatan kerabat yang diduga menumbuhsuburkan praktik-praktik nepotisme dapat ditekan seminimal mungkin.
Besuki menjadi daerah pertama masa tugas R. Soedirman dengan jabatan Dandis (Komandan Distrik) atau setingkat Kepolisian Sektor sekarang. Berturut-turut jabatan demi jabatan disandang, hingga menjadi Danres (Komandan Resort) Kepolisian Lumajang, Jawa Timur pada tahun 1973.
Menjadi Bupati
Memasuki tahun 1973 hingga 1979 ia resmi ditugaskan menjadi Bupati Jombang. Ia adalah bupati termuda yang ada di Republik Indonesia saat itu (menjadi bupati pada umur 41 tahun). Berlatar belakang sebagai seorang perwira polisi Bupati R. Soedirman memiliki pendekatan yang khas dengan orang-orang di sekitarnya, terutama di lingkungan kerja. Meskipun dikenal sebagai sosok bupati yang temperamental namun dia memiliki rasa empati yang tinggi, apalagi terhadap bawahan. Sehingga tidak mengherankan ada sebagian anak buah Bupati R. Soedirman sewaktu dia masih aktif menjabat Bupati Jombang, sengaja memancing kemarahan dia hanya untuk mendapatkan uang saku darinya.
Langkah pertama ditempuh dengan melanjutkan pembangunan Masjid Jamik alun-alun yang sudah dimulai sejak bupati sebelumnya. Termasuk melakukan terobosan pipanisasi pada tempat wudlu jamaah. Tentang hal ini, mulanya ide Bupati R. Soedirman ditentang habis-habisan oleh kaum muslimin di Jombang. Karena mereka hanya mau dibuatkan kulah (jedingan) atau sebuah tandon air untuk berwudlu. Tetapi ia kukuh menerapkan pipanisasi dengan alasan kesehatan. Akhirnya proyek itu terwujud setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Bupati R. Soedirman menyampaikan kepada kaum muslimin di Jombang, bahwa di sumur zamzam pun pemerintah Arab Saudi menerapkan pipanisasi. Tidak seperti di Indonesia yang lebih memilih kulah dengan kondisi berlumut dan kumuh.
Jabatan Bupati yang semula disakralkan sebagian orang di Jombang pada waktu itu mulai diubah sedikit demi sedikit oleh Bupati R. Soedirman. Antara lain setiap sholat Idul Fitri maupun Idul Adha, semula Bupati berada di dalam masjid, sedangkan pejabat setingkat Dandim berada di alun-alun. Maka sejak R. Soedirman menjabat bupati sudah dilakukan perombakan dengan mendudukkan muspida pada satu tempat yang sama di dalam masjid.
Sekitar tahun 1973 masa awal R. Soedirman sebagai Bupati Jombang, Pemkab belum memiliki kantor yang representatif. Dengan sepenuh daya, akhirnya Bupati R. Soedirman mulai membangun kantor pemerintah kabupaten, tepatnya di Jalan K.H. Wahid Hasyim. Menurutnya keberadaan kantor pemerintahan adalah hal paling mendesak yang musti diwujudkan, mengingat layanan publik bertumpu pada sebuah kantor. Tempat seluruh aktivitas pemerintahan berlangsung. Setelah terbangun kantor pemerintah kabupaten, langkah berikutnya Bupati R. Soedirman membangun monumen Kretarto. Sosok Brigjen Kretarto adalah pejuang kemerdekaan yang cukup heroik asal Kabupaten Jombang, sehingga dipandang perlu meletakkan monumen tersebut agar generasi muda tidak terputus akar sejarahnya. Peletakan batu pertama pembangunan monumen berbahan dasar perunggu ini dilakukan di simpang empat arah timur Universitas Darul Ulum (UNDAR) Jombang.
Untuk memberi wadah generasi muda putus sekolah dan membekali mereka dengan aneka keterampilan, maka dibangunlah SIF atau sekarang dikenal PSBR (Panti Sosial Bina Remaja) di Jl. Wahidin Sudirohusodo. Pembangunan ini menggunakan dana dari APBN. Di bidang pendidikan, terobosan Bupati R. Soedirman adalah membangun sejumlah gedung sekolah. Salah satunya adalah SMP Negeri Ngoro di Desa Jombok, Kecamatan Ngoro yang diberi nama SMP Batalyon Merak, sebagai pengingat kisah perjuangan Batalyon yang dipimpin mantan Gubernur Jawa Timur, Soenandar Prijosoedarmo di wilayah Kabupaten Jombang. Untuk mencukupi kebutuhan air minum bagi warga Kota Jombang, ia membangun sarana air bersih yang dipusatkan di Desa Plandi, Jombang.
Mengelola PSID
Keseriusan Bupati R. Soedirman untuk menjadikan sepak bola sebagai ikon Jombang, antara lain ditempuh melalui perekrutan para pemain tidak hanya internal Kabupaten Jombang, melainkan juga merekrut pemain dari kabupaten-kabupaten lain. Bahkan tidak jarang ia sebagai ketua umum PSID terjun langsung ke lapangan mendampingi proses latihan. Pernah dalam suatu peristiwa saat pertandingan PSID melawan kesebelasan pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo, Bupati R. Soedirman mengeluarkan darah akibat hantaman batu penonton yang beringas menyaksikan tim kesebalasan mereka dikalahkan PSID Jombang.
Bonus atau penghargaan bagi pemain adalah salah satu strategi Bupati Soedirman untuk memompa semangat tim agar tidak mudah kendor. Sebaliknya kalau pemain melakukan kesalahan, maka jangan berharap mendapatkan bonus berlimpah. Sebaliknya mungkin akan mendapat sanksi tegas. Selain bonus bagi para pemain sepak bola berprestasi, mereka juga mendapatkan layanan kesehatan gratis di RSUD Jombang. Untuk yang satu ini tidak ada seorang dokter pun yang mampu menolak instruksi Bupati Soedirman. Karena akibatnya yang paling ringan adalah mutasi bagi dokter yang secara sengaja maupun tidak teledor menangani kesehatan para pemain. Di samping berbagai macam bonus yang diberikan, para pemain PSID juga mendapat kesempatan diangkat sebagai pegawai negeri sipil di pemerintah Kabupaten Jombang. Pada 1977 itulah PSID sedikit demi sedikit PSID melebarkan kepiawaian permainan di lapangan hijau dengan mengalahkan hampir seluruh tim yang dimiliki Jawa Timur kecuali Persebaya yang merupakan tim papan atas. Prestasi ini akhirnya yang mengantarkan PSID bersama Persebaya melawat ke Denpasar menghadapi tim-tim wilayah timur, antara lain; Persatuan Sepak bola Denpasar (Perseden) dan Perselobar atau Persatuan Sepak bola Lombok Barat.
Keluarga
R. Soedirman Mertoadikoesoemo menikah dengan seorang gadis dari Sumenep, Madura bernama Su’udiyah pada tanggal 28 Agustus 1954. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniahi 7 anak:
- Sri Soediarti,
- Sudarsih,
- Endang Rahmawaty
- Nanik Meilani
- Dewi Quraisin
- Bagus Ahmad Fauzi Efendi
- Bagus Siswantoro (alm.)
Setelah tidak menjadi bupati, ia menjabat sebagai Paguyuban Madura Jawa Timur menggantikan Bapak Mohammad Noor, mantan Gubernur Jawa Timur.