
Quick Facts
Biography
Muhammad Basri alias Bagong (lahir di Poso, Sulawesi Tengah, 10 Oktober 1976; umur 42 tahun), adalah seorang militan Islam Indonesia dan mantan anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso. Basri mulai terlibat dengan aksi-aksi terorisme pada pertengahan dekade 2000-an. Basri ditangkap pada awal tahun 2007 dan dimasukkan ke dalam penjara, sebelum berhasil meloloskan diri pada tahun 2013. Ia segera menuju ke hutan belantara di pegunungan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, untuk bergabung bersama dengan Santoso dan Daeng Koro.
Pada tanggal 18 Juli 2016, Santoso tewas dan dirinya berhasil kabur saat mereka dikepung oleh pasukan Satgas Tinombala. Basri kemudian diduga menggantikan posisi Santoso sebagai pemimpin di kelompok MIT bersama dengan Ali Kalora. Basri bersama istrinya ditangkap tanpa perlawanan dan menyerahkan diri kepada pasukan Satgas Tinombala pada tanggal 14 September 2016.
Kehidupan pribadi
Basri dilahirkan dengan nama Mohammad Basri di Kota Poso, Sulawesi Tengah, sebagai anak sulung dari empat bersaudara. Ayahnya bernama Baco Sampe dan ibunya bernama Satinem atau biasanya dipanggil Mbak Sabruk. Basri sempat mengenyam pendidikan formal hanya sampai kelas 3 sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Poso, namun tidak sempat tamat. Ia memilih berhenti saat kelas 3 SMP, agar keempat adiknya bisa sekolah. Setelah putus sekolah, ia menghabiskan hari-harinya bekerja di kebun dan membantu ayahnya. Jika panen, Basri selalu memperoleh setengah dari hasil kebun yang dikerjakan bersama ayahnya, dan kemudian dijual oleh ibunya di pasar. Satinem, yang setiap hari berjualan sayur-mayur di Pasar Sentral Poso, menyebut bahwa masa kecil Basri biasa-biasa saja.
Memasuki masa remaja, Basri menumbuhkan ketertarikan terhadap musik. Ia mendirikan grup musik bernama Seledri Rock bersama teman-temannya di Kayamanya. Basri menjadi penabuh drum, sementara Amril Nggiode alias Aat —teman dekatnya yang juga masuk DPO polisi— berposisi sebagai gitaris. Sesuai namanya, grup ini memilih rock sebagai pilihan mereka, dan kerap kali membawakan lagu-lagu milik Genesis, grup musik asal Inggris. Masa remaja juga menjadi saat ketika Basri menato tubuhnya, dan mulai menenggak minuman seperti cap tikus. Ia minum dan mabuk-mabukan sampai pagi. Memasuki usia matang, ia menikah. Basri memiliki dua orang istri. Ia menikahi istri pertamanya, Sunarni, pada tahun 2000 dan memiliki dua orang anak. Setelah menikah, Basri memilih tinggal di rumah mertuanya di Jalan Pulau Jawa I. Keluarganya tidak mengetahui apa aktivitas Basri setelah menikah, dan baru tahu fakta bahwa Basri merupakan DPO polisi dari siaran televisi. Motif terbesar Basri untuk terjerumus ke dalam dunia terorisme adalah karena banyak sanak keluarganya yang dibantai dalam peristiwa pembantaian pesantren Walisongo tahun 2000. Basri menyebut sekitar 26 orang keluarganya dibantai dalam peristiwa tersebut, sedangkan ibunya menyebut lebih dari yang disebutkan Basri. Ia mulai terlibat dalam kasus-kasus dan tindakan terorisme pada pertengahan dekade 2000-an di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah, sebelum akhirnya ditangkap pada awal tahun 2007 dan dibawa ke Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan. Keluarga Basri, menolak pemberian bantuan hukum dari Polri dengan alasan bahwa jika mereka menerimanya, sama saja dengan menukar dua nyawa adik Basri yang juga tewas ditembak polisi.
Ia kemudian meninggalkan Sunarni, istri pertamanya untuk bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur. Sunarni sempat tinggal di kawasan Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota. Setelah meninggalkan istri pertamanya, Basri kemudian menikah dengan Nurma Usman di Bima. Hal ini dia lakukan pada sekitar bulan April tahun 2013, setelah berhasil melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Ampana.
Keterlibatan dalam terorisme
Jamaah Islamiyah
Selama tahun 2002 hingga 2006 Basri bergabung dengan Jamaah Islamiyah (JI) Tanah Runtuh, Poso. Dia juga mengikuti pelatihan militer (tadrib 'asykari) pada tahun 2003 dan masuk angkatan Uhud II. Saat itu peserta yang mengikuti pelatihan sekitar 15 orang dan dilatih oleh Ustadz Mahmud. Adapun materi latihan adalah perang, menggunakan senjata api, merayap, rolling (berputar), dan memanjat pohon menggunakan tali.
Mujahidin Indonesia Timur
Basri bergabung dengan Santoso setelah kabur dari penjara pada bulan April 2013. Mereka bersembunyi di sekitar Gunung Biru di wilayah Poso Pesisir. Di dalam MIT, Basri berperan sebagai tangan kanan dan orang kepercayaan Santoso. Kebersamaannya dengan Santoso berakhir saat Santoso tertembak pada Juli 2016. Bersama dengan Ali Kalora, dia diduga menggantikan posisi Santoso sebagai pemimpin MIT.
Kasus kriminal
Saat ditangkap pada tanggal 1 Februari 2007, Basri mengakui terlibat dalam 17 kasus kriminal yang dilakukannya di Palu dan Poso. Tindak kriminal yang terjadi di Palu, termasuk pembunuhan pendeta Susianti Tinulele, perampokan toko emas, penembakan di Gedung GKST Anugerah, dan lainnya. Di sisi lain, tindakan kriminal yang dilakukannya di Poso, termasuk pembunuhan Kepala Desa Pinedapa, mutilasi tiga siswi SMP Kristen, penembakan terhadap Ivon dan Siti, dan beberapa kasus bom di Poso, seperti Bom Kawua.
Menurutnya, motif utamanya melakukan aksi-aksi seperti itu, selain dendam karena keluarganya banyak yang terbunuh dalam peristiwa pembantaian di sebuah pesantren tahun 2000, juga karena terpengaruh doktrin yang diajarkan oleh ustad-ustad dari Jawa yang didatangkan Jamaah Islamiyah di Pesantren Amanah Tanah Runtuh. Doktrin-doktrin tersebut ditanamkan kepada mereak, seperti diperbolehkan untuk membunuh orang kafir saja, juga disuruh mencari fa'i, yakni harta benda yang dirampas dari pihak kafir dan pemerintah yang tidak berdasarkan syariat Islam.
Penembakan pendeta
Basri termasuk dalam lima orang tersangka penembakan pendeta Susianti Tinulele di Palu, pada 18 Juli 2004. Dia melakukan aksinya bersama dengan Haris, Irwanto Irano, Ardin, dan Anang Muhtadin alias Papa Enal. Penembakan bermula dari survei para tersangka di Gereja Effatha di Jalan Banteng, Kelurahan Tatura Selatan, Kecamatan Palu Selatan. Basri tidak ikut dalam suvei ini. Para pelaku kemudian menetapkan waktu penembakan pada minggu malam sekitar pukul 19.00 WITA saat jemaat Gereja Effatha melaksanakan ibadah. Basri sendiri ditunjuk sebagai eksekutor. Pada malam kejadian, Basri yang turun dari motor langsung menuju pintu utama di depan gereja, memasuki gedung dan mulai melepas tembakan. Tembakan itu tepat mengenai Pendeta Susianti yang sedang berkhutbah di atas mimbar. Susianti akhirnya tewas di tempat dengan luka tembak di dahi.
Pemburuan
Basri pernah masuk DPO polisi pada 2004 hingga 2007, kemudian dimasukkan lagi setelah bergabung dengan Santoso di MIT pada tahun 2013. Menurut Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen. Pol. Rudy Sufahriadi, Basri pernah tertangkap pada tahun 2007 dalam sebuah penyerbuan yang dilakukan Densus 88 di wilayah Tanah Runtuh, Poso. Saat itu, Basri diduga menjadi otak di balik sejumlah kasus kekerasan dan teror di wilayah Sulawesi Tengah. Basri kemudian dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Ampana, tetapi dia berhasil melarikan diri dengan menyisakan satu tahun masa tahanan.
Penangkapan
Pada tanggal 14 September 2016, Basri bersama istrinya ditangkap oleh Satgas Tinombala. Mereka ditangkap tanpa melakukan perlawanan sama sekali. Ia dan istrinya kemudian di bawa ke Palu untuk diperiksa atas keterlibatannya dalam kelompok Santoso. Meski demikian, Komjen. Pol. Suhardi Alius dari BNPT memastikan bahwa proses hukum terhadap Basri tetap berjalan, apalagi ia pernah kabur dari tahanan.