Ahmad Rasyid Sutan Mansur
Quick Facts
Biography
Buya H. Ahmad Rasyid (gelar Sutan Mansur) atau lebih dikenal sebagai A. R. Sutan Mansur (bahasa Arab: أحمد رشيد سوتان منصور; lahir di Kampung Air Hangat, Maninjau, Tanjung Raya, Onderafdeeling Oud Agam (sekarang Kabupaten Agam), Sumatra Barat, 15 Desember 1895 – meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985 pada umur 89 tahun) adalah seorang tokoh dan pemimpin Muhammadiyah. Di kalangan aktivis Muhammadiyah dengan akrab memanggilnya dengan nama Buya Tuo.
Kehidupan awal
Sutan Mansur lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam Senin, 26 Jumadil Akhir 1313 Hijriyah, bertepatan tanggal 15 Desember 1895 Masehi. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara yang merupakan anak dari Abdul Somad al-Kusai, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan ibunya Siti Abbasyiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lumpur. Ia merupakan anak dari orang tua yang bekerja sebagai tokoh dan guru agama di Kampung Air Hangat, Maninjau.
Ia diurus oleh neneknya, Andung Bayang dengan segala kasih sayang, dibedungnya dengan kain panjang dan dihangatkan-nya dengan air panas di dalam botol.
Keluarga
Sutan Mansur menikah dengan Fatimah Karim pada tahun 1917. Ia dijodohkan oleh gurunya, yaitu Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Mereka berdua dianugerahi enam belas anak, termasuk Hanif Rasyid Sutan Mansur (l. 1942 w. 2017), Ketua Umum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Agam (2000–2005) dan Dewan Penasihat MUI Agam.
Sikap anti-penjajah
Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajahan tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia akan tetapi bahkan sering kali berupaya menghadang dan mempersempit gerakan penyiaran agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau secara tidak langsung dan tersembunyi seperti dengan membantu pihak-pihak Zendingdan Missi Kristen dalam penyebarluasan agamanya. Maka, tidak mengherankan bila pada tahun 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika pendudukan Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang Maghrib.
Nasihat - nasihat
Kalimat Sutan Mansur yang mampu menginspirasi dan membangkitkan semangat dakwah para pemuda ketika itu, termasuk Buya Hamka. Kalimat ini tertulis pada buku yang dikarang oleh Buya Hamka seperti berikut ini:
Pendidikan
Selain mendapatkan gemblengan agama, dia juga mendapatkan pendidikan formal. Adapun pendidikan formal didapat sejak tahun 1902 saat menimba ilmu di Tweede Class School (sekolah kelas dua) (setara Sekolah Rakyat), juga di Maninjau, hingga tahun 1909.
Kemudian atas rekomendasi dari controlleur Maninjau, Sutan Mansur melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (Sekolah Guru atau yang lebih dikenal dengan Sekolah Raja) di Kota Bukittinggi. Akan tetapi, karena sejak awal Sutan Mansur sudah berkeinginan bersekolah di Universitas Al-Azhar, Mesir karena sudah menikah dan aktif dalam berbagai kegiatan, seperti mengajar dan seorang penulis di majalah Almunir yang terbit di Padang. Atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr.Abu Hanifah), ia belajar ilmu agama terlebih dahulu kepada H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ayahanda Buya Hamka.
Di bawah bimbingan Haji Rasul (1910–1917) ia belajar ilmu Tauhid, bahasa Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf, Al-Qur’an, tafsir, dan hadis dengan mustolah-nya. Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, H. Abdul Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya Hamka serta diberi gelar Sutan Mansur.
Sumatra Thawalib
Pada saat perkumpulan Sumatra Thawalib dibentuk pada Februari 1918 di Padang Panjang, oleh beberapa sejawat, Sutan Mansur sudah dipandang mampu berperan sebagai guru. Oleh karenanya, Sumatera Thawalib langsung mengutusnya menjadi guru di Kuala Simpang, Aceh, selama dua tahun (1918–1919) setelah itu kembali ke Minangkabau.
Karier
Penasihat
Ketika Soekarno diasingkan ke Bengkulu tahun 1938, Sutan Mansur menjadi penasihat bagi Soekarno. Pada masa Pendudukan Jepang, ia diangkat oleh Jepang menjadi anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (setara DPR dan DPRD) mewakili Sumatera Barat.
Tahun 1947–1949, oleh Wakil Presiden Mohammmad Hatta, ia diangkat menjadi Imam atau Guru Agama Islam bagi Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukittinggi dengan berpangkat Mayor Jenderal Tituler.
Setelah pengakuan kedaulatan RI tahun 1950, ia diminta menjadi Penasihat TNI AD dan berkantor di Markas Besar Angkatan Darat. Namun, permintaan itu ditolak karena ia harus berkeliling semua daerah di Sumatera untuk bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah.
Kemudian, tahun 1952, Presiden Soekarno memintanya lagi menjadi penasihat Presiden dengan syarat harus memboyong keluarganya dari Bukittinggi ke Jakarta. Permintaan itu lagi-lagi ditolaknya. Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta.
Anggota Konstituante
Sutan Mansur menjadi anggota Konstituante dari Partai Masyumi Dapil Sumatera Tengah pada tahun 1956 bersama Syekh Ibrahim Musa, Ruslan Muljohardjo, Abdul Malik Ahmad, Zainal Abidin Ahmad, Ratna Sari, Ilyas Ya'kub, M. Djaafar B.A Djalil, Duski Samad, Muchtar Hussein dan Zamzamin Kimin.
Sebagai pendakwah
Sang ulama, da’i, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap Ahad pagi senantiasa memberikan pelajaran agama terutama tentang Tauhid di ruang pertemuan Gedung Dakwah Muhammadiyah Jalan Menteng Raya No.62 Jakarta.
Riwayat Perjuangan
- Tahun 1915 – 1917 : Guru Pesantren milik Buya Hamka
- Tahun 1918 – 1919 : Guru Agama di Kuala Simpang, Aceh
- Tahun 1920 : Menentang Undang – undang Boswesen (Pancang Hutan) di Maninjau
- Tahun 1922 : Berkenalan dengan pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan dan bergabung ke Muhammadiyah
- Tahun 1923 – 1925 : Guru Agama di Madrasah Muhammadiyah di Pekalongan
- Tahun 1924 – 1925 : Aktif dalam Kongres Islam Hindia Belanda di Cirebon dan Surabaya bersama H. O. S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim dalam memimpin ummat sesuai Al-Quran dan masalah amaliyah Islam
- Tahun 1926 : Dipercaya memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat
- Tahun 1927 : Ditugaskan ke Aceh dengan tugas yang sama
- Tahun 1928 : Ditugaskan kembali ke Pekalongan
- Tahun 1929 : Ditugaskan ke Kalimantan
- Tahun 1931 : Diangkat menjadi Konsul Muhammadiyah daerah Minangkabau (PMW)
- Tahun 1932 – 1942 : Guru Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah (Kulliyatul Muallimin) di Padang
- Tahun 1935 : Bersama Abdul Karim Amrullah berhasil menolak guru ordomantie di Sumatera Barat
- Tahun 1942 : Berunding dengan Vander Plas, Vise Vooreitte Kood van Indie mengenai pembatalan Peraturan – peraturan Belanda bagi Bumi Putera, dan lain - lain menghadapi Perang Dunia II.
- Tahun 1942 : Sehari setelah Jepang menjajah Indonesia, berunding dengan Syu Co Kung (Penguasa Wilayah Jepang di Padang), menjelaskan dan meminta agar gerak agama tidak diganggu.
- Tahun 1942 – 1945 : Anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (setara DPR dan DPRD)
- Tahun 1942 – 1945 : Penasihat Agama TNI AD Komandemen Sumatera dengan berpangkat Mayor Jenderal Tituler
- Tahun 1943 – 1953 : Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
- Tahun 1943 – 1953 : Konsul Muhammadiyah seluruh Indonesia
- Tahun 1949 – 1952 : Mendirikan Djihad mengembalikan Umat Islam kepada agamanya
- Tahun 1949 – 1952 : Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi
- Tahun 1953 – 1956 : Guru (sekarang Dosen) Fakultas Falsafah Hukum Muhammadiyah di Padang Panjang
- Tahun 1953 – 1959 : Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
- Tahun 1956 – 1959 : Anggota Konstituante
- Tahun 1959 – 1980 : Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Pindah ke Pulau Jawa
Terjadinya pemberontakan melawan Inggris di Mesir menghambat keinginannya untuk melanjutkan studi di universitas tertua di dunia, Universitas Al-Azhar Kairo, karena ia tidak diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya, ia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya.
Tahun 1920, dia pindah ke Pekalongan ketika cita-citanya untuk menempuh pendidikan di Mesir tidak tercapai. Namun kekecewaannya tidak berlangsung lama, sebab pada tahun 1922, Sutan Mansur bertemu dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Tokoh kharismatik ini datang ke Pekalongan guna mengadakan tabligh Muhammadiyah. Sutan Mansur sebelumnya sempat menjadi pedagang batik di Pekalongan.
Peristiwa tersebut ternyata mengubah perjalanan hidupnya kemudian. Dia begitu terkesan dengan kefasihan KH Ahmad Dahlan dalam menjelaskan berbagai persoalan agama. Kepribadiannya yang lembut, bersahaja, serta rendah hati semakin menumbuhkan simpati dari banyak orang, termasuk dirinya.
Dari ulama itulah, Sutan Mansur banyak menimba pengetahuan mengenai Muhammadiyah. Maka pada tahun yang sama, dia masuk menjadi anggota organisasi kemasyarakatan ini dan sekaligus berkenalan dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah semisal KH. AR Fakhruddin dan KH Mas Mansur. Dan kembali Sutan Mansur makin mengenal Islam tidak hanya dari aspek hukumnya, melainkan juga aspek sosial kemasyarakatan dan ekonomi dari dua tokoh tadi.
Tahun 1923, dia menjadi guru serta mubalig Muhammadiyah. Muridnya terdiri dari pelbagai kalangan, antara lain bangsawan Jawa (R. Ranuwihardjo, R. Tjitrosoewarno, dan R. Oesman Poedjooetomo), keturunan Arab, serta orang Minang perantauan yang menetap di Pekalongan dan sekitarnya. Dua tahun kemudian dia kembali ke daerah kelahirannya sebagai mubalig Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera.
Mengembangkan Muhammadiyah
Sejatinya, sebelum Sutan Mansur, pikiran-pikiran dari Muhammadiyah sudah lebih dulu disebarluaskan oleh H Abdul Karim Amrullah, bahkan beberapa cabang Muhammadiyah sudah berdiri di Maninjau dan Padang Panjang. Dengan kata lain, H Abdul Karim Amrullah telah membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk lebih mengembangkan Muhammadiyah di Sumatra Barat. Dan penyebaran gerakan ini justru semakin pesat setelah dia mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan sejumlah alim ulama 'kaum muda'.
Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di ranah Minang pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dengan pesat di bumi Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat.
Di samping itu, selaku mubalig tingkat pusat Muhammadiyah (1926-1929) dia ditugaskan mengadakan tablig keliling ke Medan, Aceh, Kalimantan (Banjarmasin, Amuntai dan Kuala Kapuas), Mentawai serta beberapa bagian Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan. Aktivitasnya juga melatih pemuda-pemudi dalam Lembaga Kulliyatul Muballighin yang didirikannya untuk menjadi kader Muhammadiyah.
Adapun metode yang digunakan untuk latihan itu adalah mujadalah (kelompok diskusi). Murid-muridnya antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad (penulis tafsir Alquran), Zein Jambek, Marzuki Yatim (mantan Ketua KNI Sumatra Barat), Hamka, Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis.
Konsul Muhammadiyah
Pada tahun 1930 diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah satu keputusannya adalah perlunya jabatan konsul Muhammadiyah di setiap karesidenan. Maka berdasarkan Konferensi Daerah di Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah Sutan Mansur sebagai konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatra Barat hingga 1944. Kemudian atas usul konsul Aceh, konsul-konsul seluruh Sumatra setuju untuk mengangkat Sutan Mansur selaku imam Muhammadiyah Sumatra.
Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang, tempat membina muballigh tingkat atas. Di sini, dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang bertugas menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitar. Kelak, muballigh-muballigh ini akan memainkan peran penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan roda Persyarikatan Muhammadiyah.
Ketua Umum PB Muhammadiyah
Ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, dia terpilih sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres ke-33 di Yogyakarta, dia terpilih kembali sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980.
Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah atau Khittah Palembang, antara lain:
- Mencakup usaha-usaha menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid.
- Menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu.
- Mempertinggi akhlak.
- Memperluas ilmu pengetahuan.
- Menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab.
- Memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat.
- Konsolidasi administrasi.
- Mempertinggi kualitas sumber daya manusia.
- Membentuk kader handal.
Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota Muhammadiyah.
Sebagai tokoh Muhammadiyah
Sumbangsihnya dalam mengembangkan Muhammadiyah di Sumatra Barat menjadikanya mendapat julukan yang diberikan Muhammad Yunus Anis, yaitu 'Bintang Barat Muhammadiyah', setelah KH Mas Mansyur dipandang sebagai 'Bintang Timur Muhammadiyah'. Buya Hamka menyebutnya sebagai seorang ideolog Muhammadiyah. Dia pun dipandang selaku tokoh utama Muhammadiyah dari generasi pertama, setelah KH Ahmad Dahlan, KH AR Fakhruddin, KH Ibrahim, KH Abdul Mu'thi, KH Mukhtar Bukhari, serta KH Mas Mansyur.
Salah satu kata populernya saat kepemimpinannya di Muhammadiyah di Minangkabau, yaitu:
Meninggal dunia
Beliau wafat di Rumah Sakit Islam Jakarta, Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada hari Senin, 25 Maret 1985 Masehi, bertepatan tanggal 3 Rajab 1405 Hijriyah di usia 89 tahun. Jenazah almarhum dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan setelah dishalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah.
Karya
Sutan Mansur juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dari beberapa tulisannya, antara lain berjudul Jihad, Seruan kepada Kehidupan Baru, Tauhid Membentuk Kepribadian Muslim, dan Ruh Islam, tampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam Islam. Doktrin-doktrin Islam ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan Al-Qur’an dan hadis.
Berikut adalah rincian karya sastra berupa buku yang ditulis Sutan Mansur:
- Pokok - Pokok Pergerakan Muhammadiyah
- Penerbit: Al-Hidayah
- Penerangan Asas Muhammadiyah
- Hidup di Tengah Kawan dan Lawan
- Tauhid Membentuk Pribadi Muslim
- Penerbit: Pustaka Panjimas
- Ruh Islam
- Ruh Jihad
- Penerbit: Panji Masyarakat
Lihat pula
- Muhammadiyah
- Daftar tokoh Sumatra Barat