Biography
Gallery (1)
Lists
Also Viewed
Quick Facts
Intro | Indonesian humanist | |
Places | Indonesia | |
is | Humanist | |
Work field | Philosophy | |
Gender |
| |
Birth | 25 June 1951, Surakarta, Central Java, Indonesia | |
Age | 73 years | |
Star sign | Cancer |
Biography
Halim HD (lahir di Serang, Banten, 25 Juni 1951; umur 69 tahun) yang memiliki nama asli Liem Goan Lay adalah networker kebudayaan berkebangsaan Indonesia. Sejak kecil sudah mengakrabi bacaan-bacaan yang membawanya menjadi penulis, kritikus sastra, dan kebudayaan di berbagai jurnal dan media massa. Ia telah membangun jaringan kebudayaan di berbagai kota di Indonesia dan manca negara. Ia juga tercatat pernah menjadi pembicara dalam Konferensi Studi Indonesia-Asia di Melbourne, Australia (1998).
Latar belakang
Halim HD lahir di Serang, Banten, namun dibesarkan di Surakarta, Jawa Tengah. Dia merupakan putera pasangan Kun Oo Nie dan Lim Cing Siang, pedagang sekaligus petani. Halim sudah mencintai seni sejak kecil. Meski sudah dipercayai oleh ayahnya untuk mengelola sebuah gudang ketika masih duduk di sekolah rakyat, namun Halim kerap terlibat pada pementasan drama sejak duduk di kelas empat sekolah rakyat. Nama Halim Hardja atau biasa di singkat Halim HD di dapatnya ketika ia masih di SMP, tak lama setelah Presiden Soeharto mencanangkan program pembauran yang memaksa nama-nama asli Tionghoa dihilangkan. Di dunia teater, Halim lebih terlibat sebagai penata produksi dan sutradara. Kegiatan ini dia lakukan pula di rumah. Ia mengatur latihan dan pementasan Gelora Cening, nama kelompok gambang kromong milik kakaknya hingga sekarang. Banyaknya bacaan di perpustakaan pribadi milik keluarga Lim Cing Siang membuatnya menjadi gemar membaca sejak kecil. Bahkan karena terinspirasi oleh novel Agatha Christie dan buku-buku filsafat, ia sempat tertarik menjadi detektif atau filsuf. Sampai akhirnya ia melanjutkan belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1972), namun kemudian ia keluar pada tahun 1977. Latar belakang pendidikannya tersebut membuat Halim semakin berbeda dari orang keturunan Cina umumnya, yang cenderung menggeluti dunia bisnis. Ia bahkan kurang setuju terhadap cara mengekspresikan budaya Cina hanya dengan menonjolkan barongsai dan liong. Halim beranggapan, warga keturunan Cina juga dapat berperan tak cuma di dunia ekonomi, tapi juga di bidang sosial dan budaya.
Meskipun kehidupannya di dunia seni bukanlah tujuannya sejak awal, ia mantap menjalaninya. Dorongan inilah yang memberinya kekuatan mengayuh sepeda sepanjang 30-an kilometer dari Yogyakarta ke Parangtritis demi melihat acara Kaum Urakan untuk melihat aksi W.S. Rendra dan Arief Budiman yang dikenalnya lewat majalah Horison. Tahun 1980-an ia sering menyambangi Ariel Heryanto dan Arief Budiman di Salatiga untuk berbagi pengalaman. Ketika itu Halim aktif mengorganisasikan sebuah koperasi untuk buruh.
Bersama Arief Budiman dan Ariel Heryanto, Halim menyelenggarakan sarasehan kesenian bertajuk Sastra Kontekstual di Taman Budaya Jaa Tengah (TBJT), Oktober 1984. Acara ini, sebelumnya memunculkan tentangan dari Akademi Seni Karawitan Indonesia yang khawatir jika dua tokoh itu hadir, mengingat saat itu Orde Baru sedang mengincar Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Akhirnya, Murtidjono sebagai pemimpin TBJT memindahkan sarasehan di Monumen Pers.
Halim sendiri juga sering menjadi incaran aparat. Banyak surat untuk dirinya yang tidak sampai ke rumahnya, atau mampir dulu di kantor sejumlah instansi. Ia sering dipanggil dan diinterogasi. Namun, rintangan dari aparat tidak mengendurkan aktivitasnya di dunia seni. Ia terus mengembara tak hanya sekadar menonton pertunjukan, ia juga kerap ikut memprovokasi kawan-kawannya agar bersemangat melakukan kegiatan seni.
Bersama Linus Suryadi AG dan Slamet Riyadhi, Halim menjadi editor Antologi Bulaksumur-Malioboro (1975). Bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan Philippines Educational Theater Association (PETA), ia juga mengorganisasikan workshop teater dan sastra untuk masyarakat pedesaan di berbagai kota di Jawa (1983-1988). Universitas Michigan, Amerika Serikat pernah mengundangnya sebagai dosen tamu pada (1989-1992). Pengalaman lain di antaranya menjadi asisten riset Benedict Anderson, indonesianis dari Cornell University, pembicara dalam acara Konferensi Studi Indonesia-Asia di Melbourne, Australia (1998), dan menjadi penata produksi untuk pementasan Takeya Contemporary Dance Company (TCDC-Tokyo) di Solo pada 1995, dan memprakarsai terselenggaranya Makassar Arts Forum.
Lihat pula
- Taman Ismail Marzuki
- Taman Budaya Jawa Tengah
- Emha Ainun Nadjib
- Murtidjono